Besarnya Kasih Sayang Allah (bag. 2): Nikmat Allah Tidak Bisa Terhitung

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Nikmat nan Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak nan telah manusia terima, seperti: badan nan sehat, tempat tinggal nan nyaman, busana nan menutupi tubuh, makan dan minum nan senantiasa ada, dan ladang nan bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat nan nampak dan tetap banyak nikmat nan lainnya. Nikmat nan tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh nan tetap berfaedah dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan tetap banyak nan lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat nan telah manusia terima, justru tidak menyadari bakal besarnya nikmat nan Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman,

وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏

“Dan segala nikmat nan ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian seumpama Anda ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah Anda meminta pertolongan.”[1]

Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat nan ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun nan menyertai Allah di dalamnya.”[2]

Semua nikmat nan manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, seumpama manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak bakal pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, gimana siang dan malam berganti, adanya laut nan di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung nan Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang nan Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebut nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman,

وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏

“Dan jika Anda menghitung nikmat Allah, niscaya Anda tidak bakal bisa menghitungnya. Sungguh, Allah betul-betul Maha Pengampun, Maha Penyayang.”[3]

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah betul-betul mengampuni kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat nan Allah beri, tentu kalian tidak bisa mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak bisa apalagi enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu melakukan zalim. Akan tetapi, Allah tetap mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan nan banyak lagi mengampuni corak syukur kalian nan sedikit.”[4]

Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika Anda menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya Anda bakal tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi jika (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya nan lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, nan diketahui oleh mereka dan nan tidak mereka ketahui, dan keburukan-keburukan nan telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak jika bakal diperhitungkan. Sesungguhnya Allah betul-betul Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian nan sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.”[5]

Banyak di antara manusia nan ada di muka bumi ini lalai bakal nikmat nan Allah berikan. Banyak nan tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak bakal sebanding dengan nikmat nan telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia nan menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan nan mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman,

وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏

“Dan seumpama Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia beranjak dan menjauhkan diri dengan sombong; dan seumpama dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.”[6]

Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman,

وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏

“Dan seumpama Kami berikan nikmat kepada manusia, dia beranjak dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi seumpama ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.”[7]

Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada nan memberi nikmat, adalah Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak angan dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia nan sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia bermohon dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia nan ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah namalain menganggap nikmat tersebut didapat lantaran kepintaran namalain upaya mereka sendiri. Allah berfirman tentang perihal ini,

فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ

“Maka, seumpama manusia ditimpa bahaya, dia menyeru kami. Kemudian, seumpama kami berikan nikmat dari kami kepadanya, dia berkata, ‘Sesungguhnya saya diberi nikmat itu hanyalah lantaran kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.”[8]

Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana nan digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat nan selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap nan paling utama dan semestinya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan kebaikan saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba nan pandai mensyukuri nikmat-Nya.

***

Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan

Artikel: KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] QS. An-Nahl: 53.

[2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas.

[3] QS. An-Nahl: 18.

[4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484.

[5] Op.cit, hal. 500.

[6] QS. Al-Isra: 83.

[7] QS. Fussilat: 51.

[8] QS. Az Zumar: 49.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027