Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (bag. 1)

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Nama

Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri.[1]

Julukan

Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.”

Kunyah

Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berasas sunah Nabi nan menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa mempunyai anak namalain tetap kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, kenapa semua istri-istrimu mempunyai kunyah, selain aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).”[2] Dan dalam sabda lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak nan disebutkan “Abu Umair,” “Wahai Abu Umair, apa nan dilakukan oleh nughair (burung piaraan kecilnya)?”[3]

Kelahiran dan masa kecil

Imam Ibn Taimiyyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran.[4] Beliau lahir dalam family nan terkenal dengan pengetahuan dan ketakwaan. Keluarga beliau mempunyai tradisi panjang dalam pengetahuan pengetahuan dan banyak di antara mereka nan menjadi pemimpin di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ustadz terkenal nan mengajarkan iktikad dan fikih menurut aliran Hanbali. Imam Ibn Taimiyyah tumbuh dalam family nan sangat menghargai pengetahuan dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam beragam bagian ilmu, termasuk pengetahuan syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab.

Imam Ibn Taimiyyah tumbuh di lingkungan nan sangat mendukung pengembangan ilmu, nan memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kepintaran dan talenta luar biasa dalam pengetahuan pengetahuan. Beliau menyelesaikan mahfuz Al-Qur’an pada usia muda, silam melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau giat menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya tetap muda.

Lingkungan nan penuh dengan pengetahuan dan kebaikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari pengetahuan dan memihak aliran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, nan tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya nan mempertahankan kemurnian aliran Islam. Semangatnya untuk terus menggali pengetahuan sejak usia muda menjadikannya seorang pemimpin besar nan dihormati hingga hari ini.[5]

Guru-guru

Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibn Taimiyyah menunjukkan bahwa dia mempunyai banyak sumber pengetahuan bagian pengetahuan nan dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima pengetahuan dari banyak guru, baik laki-laki maupun wanita, nan beragam sesuai dengan luasnya bagian pengetahuan nan dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru[6] laki-laki dan empat pembimbing wanita.  Di antara guru-gurunya adalah:

Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im

Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah.

Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah

Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi

Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi

Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi

Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi

Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi

Kesembilan: Syekh Al-Wasiti

Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani

Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari:

Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar.

Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah.

Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab.

Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah.

Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah.

Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, nan kemudian mengokohkan kepintaran dan kebrilianan beliau.

Murid-murid 

Ibnu Taimiyyah mempunyai banyak siswa nan mendapatkan kegunaan dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka nan kemudian menjadi pemimpin besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah:

Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah

Kedua: Imam Al-Dzahabi

Ketiga: Imam Ibn Katsir

Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar

Kelima: Imam Ibn Abdulhadi

Keenam: Syekh Al-Wasiti

Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi

Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq

Kesepuluh: Imam Ibn Muflih

Akidah

Ibnu Taimiyyah memegang teguh iktikad salaf saleh, adalah iktikad mahir sunah waljamaah, nan berasas pada aliran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik nan disebutkan dalam sabda Nabi,

خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم

“Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, silam generasi setelah mereka.“[7]

Akidah ini berasal pada Al-Qur’an dan Sunah nan sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam nan penuh keutamaan.

Imam Ibn Taimiyyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan perseorangan namalain aliran tertentu, termasuk aliran Hanbali nan menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, dia menyeru kepada komitmen pada iktikad salaf tanpa fanatisme terhadap aliran tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan,

أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة

“Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku namalain dari siapa pun nan lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa nan disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa nan terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa nan sahih dari hadis-hadis, seperti nan terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya nan menanyakan kepadaku tentang beragam persoalan, baik dalam perihal iktikad maupun nan lainnya. Maka, saya menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa nan telah menjadi pegangan salaf saleh.“[8]

Mazhab

Ibnu Taimiyyah tumbuh, belajar, dan dididik berasas prinsip-prinsip aliran Hanbali. Ayah dan kakeknya, apalagi keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar aliran Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada aliran Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, dia tidak terikat pada satu aliran tertentu. Dia memberikan fatwa berasas pendapat nan menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap ekstrem terhadap satu imam, guru, namalain aliran tertentu. Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa perihal nan diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ustadz selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah.

Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih nan mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah bagian (furu’) itu perkara nan ringan. Siapa saja nan mengikuti salah satu ustadz nan berkompeten dalam perihal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak percaya bahwa pendapat tersebut keliru.”[9]

Ibnu Taimiyyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ustadz adalah rahmat nan luas. Beliau berkata,

ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة

“Oleh lantaran itu, sebagian ustadz mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah nan pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat nan luas.’”

Ibnu Taimiyyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu aliran tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ustadz Syafi’i nan berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia kudu berbincang dengan pendapat nan ilmiah. Siapa pun nan memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa nan mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.”[10]

Meskipun begitu, Ibnu Taimiyyah sangat menghormati para pemimpin mazhab, memihak mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyyah menjelaskan perihal ini dalam risalahnya nan terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan

Artikel: KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] Imam Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15.

[2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6:151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, (jilid 1, hal. 45), no. 132.

[3] Muttafaqun ‘alaihi

[4] Op.Cit

[5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19 dengan diringkas dan beberapa perubahan.

[6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6.

[7] Muttafaqun ‘alaihi

[8] Imam Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, jilid 3, hal. 161.

[9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan.

[10] Imam Ibn Taymiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30:80.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027