Fikih Akad Musaqah: Definisi, Hukum, Dan Hikmahnya

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ustadz sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab nan lainnya.

Definisi musaqah

Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ nan berfaedah “mengairi”. Dinamakan demikian, lantaran dulu pohon-pohon masyarakat Hijaz sangat butuh air lantaran negeri Hijaz adalah negeri nan tandus. Sehingga pohon-pohon nan ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur nan ada.

Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun namalain pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1]

Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga namalain nan lainnya.

Pohon nan dimaksud di sini, bisa pohon nan berbuah namalain nan tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon nan hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah nan dibagikan dari hasil pohon tersebut.

Hukum musaqah

Hukum musaqah adalah jaizah alias mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah nan lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua siswa beliau, adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah.

Oleh lantaran itu, pendapat nan lebih kuat adalah pendapat nan membolehkan janji musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah bakal datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga lantaran ada dalil kuat nan membolehkannya. [3]

Dalil musaqah

Di antara dalilnya adalah nan datang dari sabda Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma namalain sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari)

Dalam konteks nan lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari)

Hikmah pensyariatan musaqah

Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya

Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia mempunyai lahan, kebun dan pohon, namun dia tidak bisa untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia nan mempunyai skill untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun dia tidak mempunyai sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon.

Meningkatkan kerja sama dan saling membantu

Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim nan lainnya. Dan membikin hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan untung dari pengelolaannya terhadap kebun namalain pohon tersebut.

Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin

Pada janji musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan nan halal. Tentunya, perihal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin lantaran Allah, maka pemilik lahan bakal mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah bakal senantiasa menolongnya selama dia menolong hamba-hamba Allah nan lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah bakal selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)

Meningkatkan produktivitas dan ekonomi

Dengan adanya janji musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan namalain kebun nan tidak terawat, sehingga menghasilkan untung ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang nan bisa untuk mengelolanya.”

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bermaksud untuk menjaga kegunaan kebun dan pohon nan berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan kewenangan nan setara bagi kedua belah pihak.”

Sehingga, dari sinilah ekonomi pun bakal tumbuh di antara kaum muslimin dan kesiapan pangan pun bakal terus ada di antara masyarakat.

Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam

Pada janji ini, secara tidak langsung, norma Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta untung dinikmati oleh pemilik lahan, namalain tidak juga oleh pengelola lahan tersebut.

Namun, Islam mengajarkan agar untung dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa penghasilan nan seharusnya, namalain untung besar nan hanya diperoleh sepihak.

Demikianlah, di antara hikmah-hikmah nan didapatkan pada janji musaqah ini. Islam sangat bagus menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi pengetahuan dan pembelajaran, juga menjadi penambah keagamaan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb nan Maha Esa, adalah Allah ‘Azza Wajalla.

Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: KincaiMedia

Referensi:

Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih.

Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah.

Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.

Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah.

Dan beberapa referensi lainnya

Catatan kaki:

[1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175.

[2] Fiqih Sunnah, 3: 204.

[3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027