ARTICLE AD BOX
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya.
Doa merupakan ibadah agung nan mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur etika dan tata langkah bermohon agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat nan diberkahi.
Tulisan ini bakal mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian bermohon di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua.
Kedudukan angan dalam iktikad Islam dan penyimpangannya
Telah diketahui bahwa angan adalah salah satu ibadah terpenting nan disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji bakal mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatu nan lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih)
Beliau juga bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا
“Tidak ada seorang muslim pun nan berdoa, nan bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah bakal memberinya salah satu dari tiga hal: Allah bakal segera mengabulkan doanya, namalain Allah bakal menyimpannya baginya di akhirat, namalain Allah bakal menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih)
Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat nan mulia dan waktu-waktu nan utama, nan dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan angan secara umum tanpa dibatasi oleh waktu namalain tempat tertentu.
Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti ibadah nan disyariatkan dan baik ini dengan ibadah nan bid’ah nan buruk. Mereka mengganti angan di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan bermohon di kuburan, dengan menyangka bahwa angan di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1]
Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, namalain tempat nan diyakini sebagai kuburan nabi namalain wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), mempunyai tiga bentuk. Hukum masing-masing corak berbeda sesuai dengan perbedaannya:
Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan lantaran kebetulan namalain tidak disengaja. Misalnya, seseorang bermohon kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, namalain seseorang nan berjamu untuk mengucapkan salam kepada penunggu kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka nan telah meninggal, sebagaimana nan diajarkan oleh sunah. Hukum bermohon dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini lantaran angan tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan lantaran sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis nan menganjurkan mengucapkan salam kepada penunggu kubur.
Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan kepercayaan bahwa angan di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut mempunyai keistimewaan unik dalam pengabulan doa, dan bahwa angan di sana lebih utama dibandingkan angan di masjid namalain rumah.
Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang nan dikuburkan di sana, sekaligus bermohon di tempat tersebut dengan kepercayaan sebagaimana nan telah disebutkan di atas. [2]
Bentuk kedua dan ketiga inilah nan bakal kita telaah dalam pembahasan selanjutnya.
Pendapat para ulama
Para ustadz berbeda pendapat mengenai norma angan seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada corak pertama dan kedua). Ada nan memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula nan melarangnya (menilai hukumnya adalah haram).
Di antara argumen terkuat dari ustadz nan membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian pemimpin dan ustadz kaum muslimin nan mempraktikkannya. [3]
Sedangkan para ustadz nan melarangnya, di antara argumennya adalah:
أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك
“Ziarah dengan langkah seperti ini semuanya adalah bid’ah, nan tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4]
Pendapat nan rajih
Pendapat nan rajih dalam persoalan ini (yaitu, sengaja bermohon untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah nan diharamkan. Hal-hal nan menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama: Doa adalah ibadah
Doa merupakan ibadah mulia nan kudu dilakukan dengan tulus dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun sabda sahih, nan menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat nan dianjurkan untuk berdoa. Para ustadz salaf pun tidak pernah mengajarkan namalain mempraktikkan perihal tersebut.
Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik angan di kuburan
Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik bermohon di kuburan. Mereka menutup kuburan nan sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat unik untuk berdoa, dan apalagi mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi.
Ketiga: Para ustadz salaf membenci tindakan sengaja bermohon di kuburan
Para ustadz salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda,
لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم
“Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku lantaran selawat kalian bakal sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani)
Keempat: Mencegah fitnah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan namalain menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan bermohon di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, lantaran kesempatan untuk menimbulkan tuduhan lebih besar, seperti meminta-minta kepada penunggu kubur.
Kelima: Menutup pintu kesyirikan
Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, adalah memohon kepada selain Allah. Oleh lantaran itu, pintu nan mengarah kepada kesyirikan tersebut kudu ditutup rapat-rapat. [5]
Bantahan bagi nan membolehkan
Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung sanggahan secara umum bagi pendapat nan membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya perihal tersebut merupakan bid’ah, nan tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari perihal tersebut.
Di antara contoh “dalil” nan mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya bermohon di sisi kuburan orang salih adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan saya mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika saya mempunyai kebutuhan, saya salat dua rakaat, silam mendatangi kuburannya, dan saya memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1,123)
Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah:
Kelemahan sanad
Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti nan diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, nan tidak dikenal.
Kekeliruan dari segi makna
Dari sisi makna, ketidakejujuran kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah bohong nan diketahui dengan pasti oleh orang nan memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan nan biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah memandang banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang nan dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ustadz sejenisnya. Namun, kenapa dia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah?
Praktik siswa Abu Hanifah
Para siswa sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, nan hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan angan unik di kuburan Abu Hanifah namalain lainnya.
Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan
Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i nan sahih, dia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia lantaran resah menimbulkan fitnah.
Ketidakmasukakalan kisah
Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah corak berlebihan nan nyata. Tidak masuk logika jika Imam Syafi’i tidak mempunyai aktivitas lain, selain berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6]
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk berakidah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala corak penyimpangan.
***
Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: KincaiMedia
Referensi
Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.
Catatan kaki:
[1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2:604-605.
[2] Ibid, 2:622-623.
[3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/
[4] Majmu’ Al-Fatawa, 1:166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2:518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2:309-310.
[5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan pembimbing kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html
[6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2:836.