ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Mencari dan menetapkan "hari baik" menjadi sebuah kejadian nan dapat ditemui di tengah masyarakat. Untuk sebuah hari nan baik itu, kadang-kadang ada orang nan merasa perlu menunda pekerjaan. Bahkan, ada pula nan sampai menunggu penyelenggaraan sebuah aktivitas berbulan-bulan lamanya.
Fenomena mencari "hari baik" bukan semata-mata milik masyarakat tradisional kita. Dalam suatu kondisi psikologis tertentu, kalangan terpelajar, akademis, pejabat, dan lain-lain nan sehari-hari apriori dengan hal-hal nan logis rupanya mengamalkan tradisi itu juga.
Almarhum KH Ilyas Syarqawi, bapak dari para kyai dan pengasuh Pondok Pesantren an-Nuqoyah Guluk-guluk Sumenep Madura, misalnya, pernah menghadapi orang nan tampaknya resah mencari "hari baik."
Suatu kali, dia kehadiran keponakannya nan silam menanyakan pendapatnya perihal kapan sebaiknya berangkat mondok.
Beliau kembali bertanya, "Kamu sendiri merencanakan kapan berangkat?"
Sang ponakan menjawab hari Senin, tetapi ragu dan hendak berangkat hari Rabu namalain Jumat.
"Hari Senin baik. Hari Rabu baik. Jumat juga baik," jawab KH Ilyas singkat.
Sang ponakan, rupanya orang cerdik, sembari menyelidik kembali dia menyebut hari-hari lain dan menanyakan pendapat beliau kembali. ''Semua hari baik untuk melakukan kebaikan,'' jelas beliau.
Jawaban Kiai Ilyas itu termasuk sikap modern pada zamannya. Lebih-lebih, beliau menyatakannya di lingkungan masyarakat tradisional pada saat Indonesia baru merdeka.
Sekali lagi membuktikan, sungguh seorang kyai tradisional nan hidup di lingkungan kampung terpencil bisa menyikapi persoalan secara modern.
***
sumber : Hikmah Republika oleh Syarqawi Dhofir