ARTICLE AD BOX
Tahukan Bunda, ada anak-anak nan mengalami ketakutan ketika mendengar bunyi keras. Kondisi ini disebut dengan phonophobia.
Tidak seperti ketidaknyamanan akibat bunyi keras, nan dapat dialami banyak orang dari waktu ke waktu, phonophobia namalain fonofobia bisa memicu ketakutan nan intens. Bagaimana karakter anak mengalami phonophobia?
Pada dasarnya, kondisi ini dapat terjadi pada anak-anak, remaja, mau pun orang dewasa. Ada kemungkinan disebabkan oleh masalah kesehatan mendasar lainnya seperti gangguan spektrum autisme (ASD), migrain, dan misofonia.
Jika berprasangka Si Kecil mengalami kondisi ini, jangan ragu untuk segera konsultasi ke master guna mendapatkan penanganan tepat. Dengan demikian, diharapkan perawatan nan tepat bisa membantu anak mengelola kondisi tersebut secara efektif.
Apa itu phonophobia?
Phonophobia nan juga dikenal sebagai sonofobia, ligyrofobia, namalain akustikofobia, adalah jenis fobia spesifik nan berasosiasi dengan bunyi keras. Dikutip dari Medical News Today, fobia ini secara spesifik memengaruhi sekitar 27 persen orang berumur 20 hingga 50 tahun.
Kondisi phonophobia biasanya menghasilkan respons seperti ketakutan namalain kekhawatiran nan intens terhadap suara-suara tertentu.
Suara-suara ini tidak kudu berada pada tingkat volume nan ekstrem, apalagi terkadang bunyi sehari-hari seperti pintu dibanting namalain tawa tiba-tiba dapat memicu respons.
Dalam kasus nan lebih parah, rasa takut menghadapi bunyi keras dapat menyebabkan perilaku menghindar, seperti tidak menghadiri pertemuan sosial namalain lebih memilih tetap di dalam liburan saat ada pesta kembang api.
Penyebab phonofobia
Penyebab pasti phonophobia dapat berbudi pekerti kompleks dan beragam. Beberapa aspek nan berkontribusi mungkin meliputi:
1. Pengalaman traumatis
Peristiwa traumatis nan melibatkan bunyi keras, seperti kecelakaan mobil, ledakan, namalain situasi nan penuh kekerasan, dapat menyebabkan kondisi phonophobia.
2. Genetika dan temperamen
Individu dengan riwayat family gangguan kekhawatiran namalain kelebihan sensorik juga disebut lebih rentan mengalami phonophobia.
3. Kondisi lain nan terjadi bersamaan
Phonophobia dapat muncul berbarengan dengan kondisi kesehatan lain nan dapat meningkatkan kepekaan terhadap suara, termasuk gangguan spektrum autisme (ASD), migrain, dan misofonia.
4. Meniru perilaku
Khususnya anak-anak dapat mengembangkan rasa takut terhadap bunyi keras melalui pembelajaran observasional, terutama jika mereka memandang orang lain menunjukkan rasa takut namalain tekanan dalam situasi nan sama.
Ciri-ciri anak alami phonofobia, fobia bunyi keras
Dikutip dari Healthline, karakter anak phonophobia dapat membuatnya lebih susah menikmati aktivitas dan kehidupan sehari-hari. Anak dengan kondisi ini juga dapat mengalami gejala-gejala serupa saat mengantisipasi bunyi keras, saat bunyi itu terjadi, namalain setelahnya.
Berikut beberapa karakter anak mengalami phonophobia nan perlu diketahui orang tua:
- Kecemasan
- Ketakutan
- Tiba-tiba banyak berkeringat
- Sesak napas
- Jantung berdebar namalain dengap jantung meningkat
- Nyeri dada
- Pusing
- Mual
- Pingsan
Jika memandang Si Kecil mempunyai reaksi parah terhadap bunyi keras, ada baiknya untuk segera konsultasi ke master untuk memastikan apakah betul ada tanda phonofobia namalain mungkin masalah pendengaran lainnya.
Gejala kedua kondisi ini mungkin tampak serupa pada anak-anak. Mereka mungkin menjadi sangat tertekan oleh bunyi nan menurut Bunda tidak terlalu keras. Jika diperhatikan, anak juga lebih mungkin menutup telinga, menjadi takut, namalain mencoba menjauh dari bunyi tersebut.
Apakah phonophobia berhubungan dengan autisme?
Orang dengan gangguan spektrum autisme namalain autism spectrum disorder (ASD) terkadang mungkin takut dengan bunyi keras. Reaksi ini dapat disebabkan oleh beberapa aspek nan mendasarinya, termasuk kekhawatiran nan meningkat, sensitivitas sensorik, namalain keduanya.
Anak-anak dengan ASD mungkin mengalami ketakutan saat mengantisipasi bunyi keras nan mereka kaitkan dengan kejadian nan tidak menyenangkan.
Selain itu, anak dengan masalah sensorik juga mungkin mempunyai hipersensitivitas terhadap suara, nan menyebabkan mereka mendengar sesuatu jauh lebih keras daripada nan sebenarnya.
Diagnosis phonofobia
Profesional perawatan kesehatan seperti psikiater, psikolog, namalain mahir saraf bakal melakukan penilaian medis untuk mendiagnosis phonofobia. Selama proses evaluasi, tes dapat mencakup:
Riwayat pasien
Ini untuk mengetahui kapan rasa takut terhadap bunyi keras dimulai dan trauma terkait.
Wawancara klinis
Tes melibatkan pertanyaan terperinci tentang suara-suara tertentu nan memicu rasa takut, reaksi emosional dan corak terhadap suara-suara tersebut, indikasi apa pun nan memengaruhi kehidupan sehari-hari, dan apakah ada perilaku penghindaran.
Penilaian psikologis
Dalam beberapa kasus, psikolog dapat melakukan tes umum namalain kuesioner untuk mengevaluasi tingkat kekhawatiran namalain reaksi fobia.
Penilaian medis
Karena phonofobia dapat dikaitkan dengan kondisi lain, master dapat melakukan pemeriksaan riwayat medis komplit dan tes lain untuk menentukan penyebab nan mendasarinya.
Dokter juga mungkin bakal menggunakan kriteria diagnostik nan ditetapkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5-TR) untuk menentukan apakah respons seseorang terhadap bunyi keras merupakan fobia spesifik.
Cara mengatasi phonophobia
Pengobatan untuk phonofobia sering kali melibatkan kombinasi pendekatan terapeutik, perubahan style hidup, dan intervensi medis jika diperlukan. Pengobatan dapat meliputi:
Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif namalain Cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan pengobatan nan efektif untuk gangguan kecemasan.
Namun untuk fobia tertentu, umumnya terbatas pada terapi pemaparan. Pemaparan berjenjang terhadap bunyi nan ditakuti dalam lingkungan nan terkendali dapat membantu mengurangi kekhawatiran dari waktu ke waktu. Metode ini memungkinkan perseorangan untuk mengurangi kepekaan terhadap pemicu secara bertahap.
Obat
Dalam beberapa kasus, master mungkin meresepkan obat anti-kecemasan, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), untuk mengelola indikasi kekhawatiran nan parah.
Teknik relaksasi
Praktik seperti latihan pernapasan, meditasi, dan relaksasi otot progresif dapat membantu perseorangan mengelola kekhawatiran saat berhadapan dengan bunyi keras.
Modifikasi lingkungan
Bagi sebagian orang, penyesuaian sederhana seperti mengenakan penyumbat telinga namalain headphone di lingkungan nan bising, dapat menjadi langkah praktis untuk mengelola kondisi tersebut.
Kesimpulannya, phonophobia adalah fobia spesifik nan menyebabkan rasa takut nan kuat terhadap bunyi keras namalain tiba-tiba. Kondisi ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari secara signifikan, tetapi dapat diobati melalui beragam pendekatan, termasuk terapi perilaku, terapi paparan, dan pengobatan medis.
Segera lakukan pemeriksaan ke master jika memandang ada ketakutan pada anak saat mendengar bunyi keras ya, Bunda. Dokter nantinya dapat memastikan apakah ada fobia nan melatarbelakangi namalain mungkin kondisi medis lainnya. Semoga bermanfaat!
Bagi Bunda nan mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi KincaiMedia Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)