ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Dalam sejarah Islam, ada banyak sosok nan berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan agama. Di ranah teologi, ketokohan Abu Hasan Al Asyari telah diakui luas, apalagi hingga saat ini.
Pemikiran dan keteladanannya memberikan penga ruh nan signifikan untuk kaum Muslimin, terutama ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja). Bagi pengikut teologi aswaja, ustadz kelahiran Basrah (Irak) tersebut dijuluki sebagai penyelamat umat dari pelbagai mengerti nan menyimpang, semisal Mutazilah alias Rafidhah.
Hingga berumur dewasa, Abu Hasan Al Asyari terus mengkaji ajaran-ajaran Mutazilah. Sampai suatu hari, tatkala usianya genap 40 tahun, dirinya mulai terpikir bakal titik lemah aliran ini.
Ia pun bertanya kepada Al Jubbai mengenai kepercayaan kaum Mutazilah tentang keadilan Tuhan nan dapat dimengerti dalam batas-batas manusia. Dialog antara bapak dan anak tiri, namalain pembimbing dan siswa ini dikutip Majid Fakhry dalam A History of Islamic Philosophy (1986).
“Bagaimana nasib tiga berkerabat ini di akhirat? Si sulung meninggal dalam keadaan baik namalain husnul khatimah. Si tengah meninggal dalam kondisi berdosa. Adapun si bungsu wafat sebelum mencapai akil baligh namalain usia dewasa,” tanya Al Asyari.
“Si sulung masuk ke dalam surga. nan berdosa masuk ke dalam neraka. Adapun nan ketiga berada dalam posisi pertengahan,” jawab Al Jubbai.
“Bagaimana jika si bungsu menuntut kepada Allah agar diizinkan berasosiasi dengan kerabat tertuanya nan lebih beruntung (masuk surga)?” tanya sang siswa lagi.
Tuntutan itu ditolak lantaran si sulung diizinkan ke surga berkah amal-amalnya nan saleh selama di dunia. Bagaimana jika bungsu itu mengusulkan protes,
'Jikalau saja saya diberikan umur panjang, tentu bakal hidup dengan banyak melakukan ke baikan'? Lalu, Tuhan mengatakan, 'Aku dapat me ramalkan bahwa Anda tidak bakal melakukan seperti itu dan, lantaran itu, saya lebih suka menghindarkan engkau dari siksaan nan kekal dalam neraka.'
Lantas, kerabat nan meninggal dalam keadaan jelak (husnul khatimah) berseru, 'Wahai Tuhan, tentu Engkau telah meramalkan keadaanku, tetapi kenapa Engkau tidak memperlakukanku sebaik nan telah Engkau lakukan terhadap saudaraku?'
(Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa masyarakat neraka juga menyahut percakapan ini, 'Wahai Tuhan, kenapa Engkau tidak mematikan kami saja sebelum kami menjadi orang-orang nan durhaka kepada-Mu?'),” tutur Al Asyari.