ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Cerita dari tradisi kerajaan memang selalu menarik untuk diulik ya, Bunda. Termasuk, apakah ratu kerajaan menyusui bayi-bayinya?
Kebanyakan fans sejarah nan tertarik dengan family kerajaan Eropa pasti pernah mendengar rumor bahwa ibu-ibu kerajaan menyerahkan anak-anak mereka kepada pengasuh untuk disusui.
Ini sama sekali tidak benar. Ada beberapa pengecualian seperti Ratu Victoria. Ya, dia merupakan ratu terkenal nan menjadi The Empress of India setelah Indian Rebellion tahun 1857, nan sangat tidak suka menyusui.
Apakah ratu kerajaan menyusui bayinya?
Ibu-ibu kerajaan nan menyusui merupakan kejadian nan relatif baru. Ratu Elizabeth II menyusui anaknya setelah melahirkan pada tahun 1926 dan memilih untuk melanjutkan praktik tersebut pada anak-anaknya sendiri. Namun, pada 1960-an, kerabat perempuannya, Putri Margaret, konon merasa tidak suka dan mengambil keputusan sebaliknya.
Putri Diana bersikeras untuk menyusui William dan Harry sendiri, tetapi meskipun family Cambridge diharapkan untuk mengikuti pendekatannya nan lebih 'praktis' dalam mengasuh anak, perihal ini tidak menjamin cucunya bakal disusui dengan langkah nan sama.
Secara historis, sebagian besar ibu kerajaan tidak selalu percaya bahwa menyusui adalah nan terbaik. Bahkan, dalam beberapa kasus, menyusui dianggap sebagai ketidaknyamanan, dan nan terburuk, sangat berbahaya.
Pada abad-abad sebelumnya, sebagian besar bayi kerajaan diserahkan kepada seorang ibu susu segera setelah mereka lahir. Wanita kerajaan sering kali hanya sekadar figur simbolis, nan melahirkan anak demi anak untuk mengamankan dinasti.
Hal ini khususnya krusial pada masa-masa tingginya nomor kematian bayi dan anak, ketika kelahiran putra kedua, ketiga, dan keempat sangat penting. Menyusui menawarkan perlindungan kontrasepsi, jadi dengan bayi mereka disusui oleh orang lain, para Ratu bebas untuk melanjutkan tugas mereka dan memulai proses mengandung pewaris berikutnya.
Dipercaya juga bahwa ASI bakal menggumpal jika hubungan perkawinan dilanjutkan sebelum penyapihan. Sering kali, rumah tangga kerajaan bakal mempunyai tim wanita nan menyusui, untuk memastikan bahwa bayi nan baru lahir dapat disusui sesuai permintaan.
Dalam perihal persusuan, wanita dari family bangsawan dianggap sebagai ibu susu nan paling cocok, asalkan mereka mempunyai karakter nan baik dan penampilan nan sehat.
Beberapa nama dari mereka adalah putra Henry VIII nan berumur pendek pada tahun 1511 disusui oleh seorang Elizabeth Poyntz dan Richard nan disusui oleh seorang wanita berjulukan Hodierna. Anak laki-laki secara tradisional menghabiskan waktu lebih lama disusui daripada kerabat wanita mereka, sering kali masa menyusuinya hingga dua tahun, lantaran mereka dianggap lebih berjuntai dan rewel saat tetap bayi.
Ketika memungkinkan, wanita bangsawan dari family kerajaan dipilih untuk pekerjaan tersebut. Pada tahun 1566, calon James I disusui oleh Lady Reres, dayang ibunya, sementara putri bungsu Charles I disusui oleh Lady Dalkeith pada 1644.
Pilihan seputar ibu persusuan itu merupakan pilihan nan penting. Dipercayai bahwa bayi dapat menyerap temperamen ibu susu melalui susunya, selain dipengaruhi oleh pola makannya.
Sehingga, aroma nan kuat seperti dari bawang putih, dan rempah-rempah ditolak dan diganti dengan makanan nan hambar. Ibu susu bakal menggunakan pengobatan herbal dan tradisional untuk memastikan aliran ASI mereka terus berlanjut, seperti mengenakan rantai baja di antara tetek mereka namalain membaca mantra.
Selama abad ke-18, master mencurigai nilai ASI dan menyarankan para ibu untuk menghindarinya sebisa mungkin. Susu pertama, namalain kolostrum, dinilai berbahaya, dan dianggap bahwa pemberian makan tidak boleh dilakukan sama sekali sampai pendarahan pasca persalinan berhujung seperti dikutip dari laman The Guardian.
Bayi baru lahir diberi susu hewan, namalain madu dan air gula selama sekitar satu bulan. Beberapa di antaranya disusui dengan kantung linen, tanduk, kendi tanah liat, dan puting susu sapi nan diawetkan, nan pasti penuh dengan kuman. Bubur dan oatmeal juga digunakan sebagai makanan penyapihan, nan sering kali mengakibatkan diare nan fatal.
Ratu Mary dari Modena diberi tahu oleh dokternya bahwa bayinya nan sakit, James Stuart, tidak bakal memperkuat hidup separuh jam jika disusui. Akhirnya, istri seorang tukang genteng setempat dibawa untuk menyusui bayinya dengan tergesa-gesa sehingga dia mengenakan sepatu tua dan tidak memakai stoking. ASI-nya mungkin menyelamatkan nyawa bayi tersebut.
Queen Victoria menganggap buahpikiran menyusui sebagai sesuatu nan menjijikkan, menganggapnya sebagai 'kehancuran' bagi wanita muda nan pandai dan berbudaya. Putri-putrinya sendiri menyembunyikan pilihan mereka untuk menyusui bayi mereka sendiri, nan menyebabkannya mencap mereka sebagai 'sapi' saat menemukan rahasia tersebut.
Anehnya, mengingat persepsi modern tentang dirinya sebagai dewi rumah tangga Victoria, Nyonya Beeton menyuarakan sentimen ini. Ia membandingkan bayi dengan vampir dan menganjurkan penggunaan susu serbuk nan baru tersedia, nan diberikan dalam botol kaca, untuk mencegah kelelahan ibu.
Sekarang ibu-ibu kerajaan tidak lagi terikat pada rezim tanpa akhir untuk menghasilkan mahir waris, keputusan sang bangsawan untuk menyusui namalain tidak bakal menjadi keputusan nan sepenuhnya pribadi. Dalam privasi rumah orang tuanya, dia bakal mempunyai waktu untuk beradaptasi dan membikin keputusannya tanpa diabaikan oleh kerumunan bangsawan dan menteri.
Dokter masa sekarang mungkin menyarankan bahwa menyusui adalah nan terbaik, tetapi jumlah ibu baru nan memilih untuk menyusui bayi mereka sendiri menurun. Mata bumi mungkin tertuju padanya, tetapi sebagai ibu modern, sang Duchess lebih condong berkonsultasi dengan family dan teman-temannya sebelum mengikuti tradisi dan tugas.
Bagi Bunda nan mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi KincaiMedia Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(pri/pri)