ARTICLE AD BOX
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, adalah berangkaian dengan sewa menyewa jasa namalain pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara unik saja?” dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il nan dibahas oleh para ulama.
Yang mana sewa menyewa jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa terbagi menjadi dua: [1]
Pertama: Sewa menyewa nan berbudi pekerti khusus.
Kedua: Sewa menyewa nan berbudi pekerti umum.
Dan tulisan kali ini bakal lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama.
Sewa menyewa nan berbudi pekerti khusus
Maksudnya adalah pihak penyedia jasa (mu’jir) hanya bekerja unik untuk pengguna jasanya (musta’jir) saja, seperti pembantu rumah, karyawan, dan lainnya. Atau penyedia jasa hanya mengerjakan pekerjaan tertentu, seperti memperbaiki listrik, air di rumahnya, dan lain sebagainya.
Pada janji ini, pekerja namalain penyedia jasa sifatnya hanya unik untuk bekerja kepada nan menyewanya saja. Tidak bisa kepada nan lainnya, mengingat corak jasa namalain pekerjaannya hanya bisa diberikan unik kepada penyewa jasanya. Beda halnya kelak dengan sewa menyewa nan berbudi pekerti umum.
Tentunya pada sewa menyewa secara unik ini terdapat beberapa ketentuan-ketentuan nan kudu diketahui.
Pertama: Pada perihal ini (penyedia jasa) namalain nan bisa dikatakan sebagai pekerja, bekerja pada pekerjaan dan waktu yang telah ditentukan. Di awal akad, kudu jelas tentang waktu pekerjaan nan kudu diselesaikan.
Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan sasaran selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, kegunaan nan didapatkan oleh pihak penyewa tidak bakal diperoleh, selain dengan menentukan waktu tersebut. Dan dalam menentukan waktu, kudu disesuaikan dengan skill pekerja tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, kudu dilihat dari jumlah pekerja, material nan digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut.
Pada keadaan ini, pekerja berkuasa untuk mendapatkan upahnya pada waktu nan telah ditentukan selesai. Karena kegunaan nan diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu apalagi melewati pemisah kesepakatan janji awal. Karena ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah penghasilan kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah)
Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua: Terkadang, janji nan melangkah antara penyewa dan pekerja ada pada pekerjaannya nan kudu diselesaikan.
Mudahnya, seperti menyewa pekerja nan dapat memperbaiki listrik beserta perkabelannya. Di sini telah jelas janji bakal terus melangkah sampai pekerjaannya selesai, selama pekerjaannya belum selesai, selama itu pula pekerjaan tetap kudu terus berlangsung.
Pada keadaan ini, pekerja berkuasa untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika dia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan nan telah disepakati berdampingan di awal akad.
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. nan lebih rajih, dia hanya berkuasa menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru separuh nan dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan nan dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [2]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ
“Barangsiapa nan mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia bakal memandang (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah : 7)
Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya janji pada sewa menyewa jasa nan berbudi pekerti khusus ada dua perihal nan kudu diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, mengenai dengan pekerjaan dan waktu.
Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan sasaran pekerjaan nan kudu diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu kudu selesai.
Contohnya:
A menggunakan jasa B untuk membangun rumah. A dan B bekerja-sama agar rumah ini dapat diselesaikan dengan kriteria seperti ini dan seperti itu. A memandang kira-kira B dapat melakukannya sekitar satu bulan dengan penghasilan sekitar Rp10.000.000,- dan biaya material sekitar Rp.50.000.000,-. Untuk seluruh biaya dibayar di awal.
Pada contoh ini sangat jelas sekali janji nan dilakukan kedua belah pihak,
Kriteria pekerjaannya kudu seperti apa, waktunya, biayanya nan dibayar di awal. Jika biaya nan disepakati di akhir, maka janganlah pihak penyewa menunda-nudanya.
Ketentuan janji seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah janji sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan nan bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ الشُّرُوطِ
“Pemenuhan kewenangan ditentukan oleh syarat-syarat nan disepakati.”
Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada nan dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua perihal itu terjadi lantaran akadnya nan tidak jelas, absurd dan tetap ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya nan belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik norma nan diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu.
***
Depok, 20 Jumadilakhir 1446 H / 22 Desember 2024 M
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: KincaiMedia
Referensi:
Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.
Shahih Fiqh Sunnah. karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Dan beberapa referensi lainnya.
Catatan kaki:
[1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, pada pembahasan Ahkamul Ijarah ‘Alal ‘Amal, dan Shahih Fiqh Sunnah, 5:289.
[2] Majmu’ fatawa, 30:183. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5:290.