ARTICLE AD BOX
Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan tentang ketentuan dan poin-poin sewa menyewa jasa nan berbudi pekerti khusus. Pada pembahasan kali ini, bakal berfokus pada jenis-jenis keadaan sewa menyewa jasa nan berbudi pekerti khusus.
Tentunya, jenis-jenis sewa menyewa jasa nan berbudi pekerti unik sangat banyak ragamnya dan bermacam-macam. Terlebih era dan teknologi semakin berkembang. Sehingga perlu untuk mengetahui apa saja jenis-jenis keadaan sewa menyewa tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis keadaannya.
Sewa menyewa jasa untuk perihal nan haram [1]
Tidak boleh hukumnya menyediakan namalain menyewa jasa nan digunakan untuk hal-hal nan haram. Seperti menyewa orang untuk berzina, bernyanyi, berjoget, perdukunan, dan lain sebagainya.
Akad nan seperti ini adalah janji nan bathil. Bahkan, tidak berkuasa untuk mendapatkan upahnya, lantaran perihal ini termasuk menyantap kekayaan manusia dengan langkah nan bathil. Tentunya, perihal ini adalah perihal nan terlarang, lantaran kegunaan nan diperoleh adalah kegunaan nan dilarang oleh syari’at.
Termasuk dalam pembahasan ini, jumhur ustadz beranggapan tidak boleh pula untuk melakukan janji sewa menyewa terhadap suatu perbuatan nan pada asalnya mubah. Namun, perkara mubah ini menyeret kepada perkara nan haram. Seperti, menyewa seorang penulis untuk menuliskan lagu-lagu dan nyanyian-nyanyian namalain menyewa orang nan membawakan khamr untuk peminumnya.
Kalau dilihat dari pekerjaan di atas, tidak ada persoalan lantaran hukumnya mubah. Namun, dikarenakan pekerjaan itu diperuntukkan untuk sesuatu nan haram, maka haram pula kekayaan nan dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan haram pula menyewanya. Para ustadz menyebut kaidah-kaidah mengenai perihal ini, di antaranya;
وَسَائِلُ الأْمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ
وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ
“Hukum suatu perantara mempunyai norma nan sama seperti tujuannya.
Dan tetapkanlah norma ini terhadap hal-hal nan mengikuti (tambahan-tambahan).” [2]
Kaidah ini sangat jelas, menunjukkan bahwa norma suatu perantara itu mengikuti tujuannya. Jika tujuannya mubah, maka norma dari perantara tersebut mubah. Jika tujuannya haram, maka norma perantara tersebut adalah haram.
Simaklah kaidah-kaidah di bawah ini,
كُلُّ وَسِيْلَةٍ إِلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap perantara untuk melakukan keharaman, maka hukumnya haram.”
Dalam norma nan lain, juga disebutkan,
الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ
“Setiap perantara, maka terkena norma dari tujuannya.”
Terkait dengan perihal ini, Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Tolong-menolonglah Anda dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam melakukan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dalam sabda ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
“Allah melaknat khamr, peminumnya, nan menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang nan minta diperaskan, orang nan membawanya, dan orang nan dibawakan kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Jelas pada sabda di atas, menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala melaknat pula selain peminum khamr. Karena merekalah nan menjadi lantaran diminumnya keharaman itu.
Terdapat kegunaan krusial dari pembahasan ini,
Pertama, mengenai dengan pekerjaan membawa khamr. Maka, bagi penyewanya tetap kudu membayarkan upahnya. Karena terkadang pada pekerjaan itu terdapat suatu kegunaan nan jelas dan berkuasa baginya untuk mendapatkan upah, mengingat pekerjaan itu nan tidak haram pada zatnya. Namun, dia haram lantaran maksud dari penyewanya.
Berbeda halnya jika seseorang menyewa pelacur, seseorang untuk melakukan liwath (homoseks), membunuh, mencuri, dan lain sebagainya. Karena pekerjaan nan dilakukan sudah jelas-jelas haram. Jelas pekerjaan-pekerjaan itu haram bukan lantaran maksud dari penyewanya. Sehingga tidak boleh untuk memberikan mereka upah.
Dalam sabda Abu Mas’ud Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang duit hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina, dan penghasilan penghasilan dukun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, berdasarkan penjelasan di atas, adalah tidak bolehnya bekerja namalain menyewa pekerja untuk membawakan khamr untuk diminum. Maka, jika bekerja namalain menyewa pekerja untuk menumpahkan dan merusaknya, boleh hukumnya. Karena perihal ini termasuk menyewa untuk melakukan perihal nan wajib.
Inilah mengenai jenis keadaan-keadaan nan haram untuk menggunakan jasa sewa menyewa dan juga mengenai dengan wasilah (perantara). Silahkan qiyas-kan perkara ini kepada pekerjaan namalain jasa sewa menyewa nan lainnya.
Sama halnya seperti riba. Tentunya segala wasilah (perantara) nan mengantarkan kepada perbuatan riba adalah haram. Perhatikanlah sabda dari Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu ‘anhu,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah nan meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi nan menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim)
Disamakannya pada transaksi riba antara seorang penulis dan saksi dengan pemakan riba, lantaran mereka saling menolong dan membantu dalam melakukan dosa. Maka, hendaknya seorang muslim berhati-hati terhadap perkara nan sifatnya wasilah (perantara) nan mubah. Namun, dia bisa menjerumuskan ketika mengantarkan kepada keharaman.
Semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua dari perkara-perkara nan Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 15 Rajab 1446/ 14 Januari 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: KincaiMedia
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy.
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Dan beberapa referensi lainnya.
Catatan kaki:
[1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 291.
[2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 27.