Maksiat Karena Terpaksa, Apakah Berdosa?

KincaiMedia, JAKARTA -- Ada kalanya, seorang Muslim melakukan hal-hal nan di luar keinginannya. Kalau menolak, dia bakal mendapatkan ancaman namalain keselamatannya terancam.

Dalam bahasa Arab, paksaan adalah ikraah. Secara istilah, itu berfaedah 'membawa manusia kepada urusan nan tidak diinginkannya secara wajar namalain syariat." Orang nan dipaksa disebut sebagai mukrah.

Pemaksaan bisa beragam bentuknya. Bisa dengan ancaman hendak dibunuh, dianiaya, dipenjara, dirusak hartanya, disiksa, namalain dilukai. Tidak ada perbedaan apakah paksaan itu dari hakim, pencuri, ataupun dari nan lainnya.

Ibnu Mas'ud pernah berkata, "Bilamana ada seorang penguasa memaksaku untuk berbincang dengan ancaman cambukkan baik sekali namalain dua kali, maka saya bakal berbincang demi untuk menghindarkan cambukan agar jangan menimpa diriku."

Ikraah itu terbagi menjadi dua jenis, adalah untuk berbincang dan berbuat. nan pertama itu berimplikasi bahwa sesuatu nan tadinya wajib menjadi tidak lagi wajib bagi orang nan dipaksa. Sebab, dia tidak lagi mukalaf.

Apabila dia mengucapkan kata-kata nan mengandung kekafiran, misalnya, dia dimaafkan menurut norma sepanjang perihal itu dilakukannya dalam keadaan terpaksa. Apabila dia berikrar, maka pernyataannya tidak bisa dipegang.

Bila dia dipaksa mengadakan janji nikah, hibah, namalain jual beli, akadnya ini tidak berlaku. Bila dia berjanji namalain bernazar, maka sumpah namalain nazarnya ini tidak menuntut sesuatu. Bila dia menceraikan istrinya namalain merujuknya, maka tidak terjadi perceraian dan rujuknya pun tidak sah.

Yang menjadi dasar dalam perihal ini adalah firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 106. Artinya, "Barangsiapa kafir terhadap Allah sesudah dia beriman, dia mendapat kemurkaan Allah, selain orang-orang nan dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam berakidah (maka dia tidak berdosa); bakal tetapi orang nan melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya jawaban nan besar."