ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Setiap pasangan tentunya menginginkan rumah tangga nan harmonis. Namun, terkadang terjadi gesekan antara menantu dan mertua nan membikin pernikahan Bunda mungkin tidak baik-baik saja.
Faktor penyebab gesekan itu sering kali terjadi lantaran ikut kombinasi tangan mertua tentang cucunya. Lantas, gimana norma jika mertua menahan anak berjumpa dengan orang tuanya, ya, Bunda?
Hal ini sempat dialami oleh seorang laki-laki satu anak nan sengaja mau dipisahkan dari istri dan anak oleh mertuanya. Ia pun meminta keadilan lantaran mediasi tidak memberikan jalan keluar untuknya.
Hukum mertua larang anak berjumpa orang tuanya
Melansir dari laman detikcom, master hukum, Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H., mengatakan terhadap perkawinan seorang Muslim, maka seumpama terjadi perceraian merujuk kepada ketentuan Pasal 113 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islami (KHI), nan menyatakan bahwa perkawinan dapat putus lantaran kematian, perceraian, dan atas dasar putusan pengadilan.
Kemudian, ketentuan Pasal 114 KHI menyatakan, putusnya perkawinan nan disebabkan lantaran perceraian dapat terjadi lantaran talak namalain berasas gugatan perceraian. Selanjutnya, ketentuan Pasal 115 KHI menyatakan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berupaya dan tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116 KHI mengatur tentang alasan-alasan nan dapat menyebabkan terjadinya perceraian, meliputi:
- Salah satu pihak melakukan zina namalain menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya nan sukar disembunyikan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa argumen nan sah namalain lantaran perihal lain di luar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat jawaban penjara 5 (lima) tahun namalain jawaban nan lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman namalain penganiayaan berat nan membahayakan pihak lain;
- Salah satu pihak mendapat abnormal badan namalain penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami namalain istri;
- Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada angan bakal hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
- Suami melanggar taklik talak;
- Peralihan kepercayaan namalain murtad nan menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Sementara itu, bagi Non Muslim, jika terjadi perceraian, merujuk pada ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974), nan menyatakan bahwa perkawinan dapat putus lantaran kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan. Ketentuan Pasal 39 UU 1/1974 menyatakan bahwa:
- Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan nan berkepentingan berupaya dan tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak;
- Untuk melakukan perceraian kudu ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak bakal dapat hidup rukun sebagai suami istri;
- Tata langkah perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975), nan mengatur tentang alasan-alasan nan dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu:
- Salah satu pihak melakukan zina namalain menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya nan sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa argumen nan sah namalain lantaran perihal lain di luar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat jawaban penjara 5 (lima) tahun namalain jawaban nan lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman namalain penganiayaan berat nan membahayakan pihak lain;
- Salah satu pihak mendapat abnormal badan namalain penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami namalain istri;
- Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada angan bakal hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Menanggapi persoalan laki-laki tersebut, Yudhi mengatakan nan menjadi penyebab persoalan namalain mungkin perselisihan itu adalah pengaruh orang tua nan membatas-batasi hubungan dan komunikasi dengan istri dan anak, dengan tujuan agar mereka bercerai.
Perlu diketahui bahwa secara norma orang tua tidak mempunyai kewenangan untuk ikut kombinasi terhadap kehidupan perkawinan anaknya. Ketentuan Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP9/1975 di atas, secara jelas tidak mencantumkan satu pun argumen nan mengatur tentang kehendak orang tua sebagai dasar diajukannya perceraian.
Namun, bisa jadi, perselisihan antara suami dan istri nan melangkah terus-menerus, sebagaimana nan diatur di dalam Pasal 116 huruf f KHI dan Pasal 19 huruf f PP 9/1975, dapat disebabkan salah satunya lantaran kehasutan pihak ketiga, dalam perihal ini orang tua.
Oleh lantaran itu, selama suami namalain istri tidak mengusulkan talak namalain gugatan pisah ke Pengadilan Negeri, maka perkawinan tidak bakal pernah putus lantaran perceraian.
“Jika Saudara tetap berambisi untuk mempertahankan perkawinan namalain menolak untuk bercerai, kami hanya bisa menyarankan agar Saudara dengan penuh kesabaran, melakukan pendekatan nan lebih intensif dengan orang tua istri, seraya menunjukkan bahwa Saudara adalah suami dan seorang ayah nan bertanggung jawab serta bisa untuk menjaga dan menafkahi family seutuhnya,” jelas Yudhi.
Nah, itulah norma mertua nan menahan anak untuk berjumpa orang tuanya. Semoga bermanfaat, ya, Bunda.
Bagi Bunda nan mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi KincaiMedia Squad. Daftar dan klik di SINI. Gratis!
(asa/som)