ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Para nabi dan rasul merupakan orang-orang pilihan nan dijaga Allah SWT dari kesalahan dan kesesatan. Mereka merupakan teladan bagi setiap manusia nan mengharapkan keselamatan, baik di bumi maupun akhirat.
Di antara mereka, Nabi Muhammad SAW merupakan sang khatamul anbiya. Beliau merupakan pemimpin umat manusia hingga akhir zaman.
Beliau berasal dari keturunan nan terbaik sekalipun silsilahnya dirunut hingga manusia pertama, Nabi Adam AS. Hal itu ditegaskan dalam surah asy-Syu'ara ayat 219, nan berbunyi, “Wataqallubaka fii assaajidiin.”
Artinya, “Dan (melihat pula) perubahan mobilitas badanmu di antara orang-orang nan sujud.” Tafsiran Ibnu Abbas atas ayat tersebut ialah, Allah memandang perubahan mobilitas kejadian Nabi Muhammad SAW di tulang sulbi deretan manusia--sejak Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, hingga kedua orang tua beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ungkapan as-saajidiin dalam ayat tersebut menegaskan, Rasulullah SAW berasal dari keturunan orang-orang nan bersujud kepada Allah. Artinya, bukan golongan kafir.
Maka wajarlah, Nabi Muhammad SAW sejak tetap berumur anak-anak membenci segala nan berbau menyekutukan Allah, termasuk perangai menyembah berhala.
Tak sekalipun dan tak sedikitpun beliau meletakkan simpati pada tata langkah ibadah kaum musyrik, apalagi mengikuti mereka.
Dikisahkan, suatu kali seseorang pernah menyuruh Muhammad SAW mini untuk ikut ke tempat pemujaan berhala. Kontan saja, Muhammad mini menolaknya.
Kisah ketegasan beliau saat tetap seusia anak-anak dan remaja disampaikan Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al-Wafa. Suatu ketika, Ummu Aiman bercerita sebagai berikut.
"Orang-orang Quraisy mengagungkan suatu patung berjulukan Bawwanah. Berhala itu banget dipuja-puja mereka. Pemujanya sering menggunduli satu sisi kepala. Tak hanya itu, orang-orang musyrik itu juga kerap bermalam di dekat peralatan tak bernyawa itu apalagi hingga larut malam.
Ritual itu memang biasa terjadi sekali dalam setahun. Di antara peserta ritual tersebut adalah Abu Thalib.