ARTICLE AD BOX
Menikah merupakan ibadah nan menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru nan sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua legal untuk melakukan sesuatu nan sebelumnya Allah haramkan, selain dengan adanya pernikahan tersebut.
Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan bakal terjadinya sebuah berantem dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga nan bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu nan tidak bisa dihindari.
Sebagaimana perihal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ “ غَارَتْ أُمُّكُمْ ”، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه
“Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), silam salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri nan rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan nan ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri nan rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring nan baik kepada istri nan dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring nan pecah itu di rumah nan menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225)
Perselisihan di antara suami istri merupakan perihal nan umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan apalagi mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah.
Mengetahui ancaman tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara nan efektif dan tuntunan norma di dalam menyelesaikan berantem dan perselisihan nan terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan nan ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan norma dan meminimalisir terjadinya perpecahan nan berujung kepada perceraian.
Berikut ini adalah beberapa tuntunan norma di dalam menyelesaikan perselisihan dan berantem nan kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga.
Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah
Perselisihan nan terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ
“Dan apa saja musibah (musibah) nan menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79)
Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, selain ada sebabnya. Oleh lantaran itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan nan dilakukannya nan menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan nan dilakukannya tersebut?
Jika kesalahannya tersebut juga berangkaian dengan kewenangan Allah Ta’ala, entah itu lantaran kemaksiatan nan dilakukan namalain ketaatan nan ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat nan betul kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik orang nan melakukan kesalahan adalah mereka nan mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391)
Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi kewenangan pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan langkah nan baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya?
Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu nan susah dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia mempunyai kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dulu atas sebuah musibah dan malapetaka nan terjadi.
Hanya orang-orang pilihan Allah nan mempunyai mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya nan durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, silam dia menyangka bahwa Kami tidak bakal mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan nan sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan nan berkuasa disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang nan zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan bakal lebih mudah terurai, sebuah berantem bakal lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya.
Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya
Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berupaya mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keistimewaan takwa,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia bakal mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah nan tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)
Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan berantem nan terjadi.
Di antara corak ketakwaan dalam rumah tangga nan mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seumpama rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ
“Allah merahmati laki-laki nan bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, dia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan nan lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita nan bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, dia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336)
Siapa di antara kita nan tidak mau mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! nan dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga bakal terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya.
Ketiga: Menggunakan mediasi seumpama menemukan kebuntuan
Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan nan justru bakal menimbulkan kerusakan nan lebih parah seumpama diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
“Dan jika Anda khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari family laki-laki dan seorang hakam dari family perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah bakal memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika berantem suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk berembuk dan berdiskusi. Ketika kedua hakam nan mewakili pihak suami dan istri itu mempunyai niat nan baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah bakal memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian nan diinginkan.
Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir
Jika sebuah perselisihan dan berantem tidak mempunyai jalan keluar, selain melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar nan tidak disukai Allah Ta’ala, terutama seumpama perceraian tersebut terjadi tanpa adanya lantaran nan jelas namalain lantaran hal-hal lainnya nan dapat diselesaikan dengan langkah nan lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda nan artinya,
“Sesungguhnya setan meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka nan bakal menjadi pasukan nan paling dekat dengan dia adalah nan paling banyak fitnahnya. Lalu ada nan datang dan berkata, ‘Saya telah melakukan ini dan itu’. Maka, setan berkata, ‘Engkau tidak melakukan apa-apa’. Kemudian ada nan datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun selain telah saya pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, setan mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813)
Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan nan terjadi antara suami dan istri, silam menjadikan perselisihan tersebut sebagai argumen untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan tetap dimungkinkan untuk diselesaikan dengan langkah nan lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal jelek kepada family tersebut, baik itu terpecahnya sebuah family namalain terlantarnya anak-anak.
Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan nan jelas jika pun sebuah perceraian kudu terjadi, adalah hendaknya perihal tersebut dilakukan dengan langkah nan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan langkah nan patut namalain melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: KincaiMedia