ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Tantangan menjadi orang tua semakin hari kian bertambah. Bahkan seiring berjalannya waktu, hubungan anak dengan Bunda, Ayah, guru, dan orang dewasa di sekitarnya nan disebut sebagai 'kaum dewasa alamiah' seolah bergerak menjauh. Hal tersebut semakin menjadi di tengah perkembangan teknologi.
Bahkan keadaan ini menjadi lazim ketika relasi hubungan alamiah sesama manusia punya pengganti lainnya, adalah perangkat digital. Anak-anak kemudian menggantungkan kebutuhan relasinya pada 'kaum dewasa digital' ini dibanding nan alamiah.
Bagi anak-anak, relasi digital tersebut menjanjikan kecepatan, pilihan kegunaan beragam, dan juga akses tak terbatas. Oleh lantaran itu, kehadiran Bunda, Ayah, dan orang dewasa di sekitar anak menjadi tersisih. Hal ini lantaran tak selalu tersedia real time, tak dapat diakses setiap saat, dan tidak leluasanya info nan dipilih. Waktu 'kaum dewasa alamiah' teralokasi untuk rutinitas pencarian nafkah, memelihara kehidupan sosial, dan istirahatnya sendiri.
Ketika anak kesulitan belajar, akhirnya mengalihkan kebutuhannya pada Google namalain melalui media sosial seperti TikTok. Bahkan nan terkini, adanya kemunculan Artificial Intelligence (AI) semacam ChatGPT, MetaAI namalain Grok. Fenomena nan telah lazim 20 tahunan silam hingga hari ini. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan belajar saja, tetapi beragam perihal tersedia.
'Kaum dewasa digital' ini juga dapat jadi kawan curahan hati saat bimbang, kawan menimbang keputusan, namalain pengisi kekosongan anak. Relasi alamiah antara family dan sekolah kian irelevan. Dari seluruhnya itu, sebenarnya kemunculan AI dalam kehidupan anak, menjadi berkah namalain bencana?
Ancaman AI untuk kehidupan anak: Child grooming
Sebagian tanggung jawab 'kaum dewasa alamiah', dalam realitasnya beranjak ke perangkat digital. Kelompok ini dapat tenggelam pada rutinitasnya. Relasi dengan anak dan asuhannya, diambil alih oleh perangkat. Bahkan dalam kualitas nan tak buruk. Namun sebagian lainnya, justru kudu waspada, Bunda.
Hal ini lantaran relasi digital nan berlangsung, tak terselenggara dengan tujuan baik. Anak-anak jadi sasaran predator, trolls, maupun pengaruh jelek lainnya. Digitalisasi nan memindahkan hidup manusia ke jenis perangkat, turut memindahkan keburukan, termasuk nan diarahkan pada anak-anak ke perangkat terkini ini.
Michael E. Kraut, 2024, lewat lembaganya Child Crime Prevention and Safety Center memaparkan gambaran nan mencekam mengenai kejahatan nan menyasar anak-anak ini. Berikut uraiannya: diperkirakan sekitar 500.000 predator online, aktif setiap hari. Seluruhnya menyasar anak, dalam rentang umur 12 hingga 15 tahun. Para predator itu membujuk namalain memanipulasi anak-anak nan ditemuinya.
Senada dengan itu, FBI menerbitkan info nan mengkonfirmasi kengerian di atas. Lebih dari 50 persen korban pemanfaatan seksual online, berumur antara 12 dan 15 tahun. Kemudian 89 persen pelecehan seksualnya, terjadi di ruang obrolan internet maupun pesan instan. Para predator tak jarang meminta foto-foto seksual korbannya.
Sementara itu, 58 persen orang tua melaporkan adanya ancaman nan ditimbulkan orang asing, pada anak-anaknya nan berumur 8 hingga 11 tahun secara online. Ini dalam keadaan 40 persen anak-anak menghapus pengaturan privasi saat menggunakan media sosial. Penghapusan nan bermaksud menarik lebih banyak kawan namalain pengikut. Ternyata predator dan pelaku kejahatan nan justru ditarik.
Salah satu relasi jelek anak-anak dengan predator namalain pelaku kejahatan lainnya itu, disebut child grooming. Darkness to Light, 2014, sebuah lembaga nan mendedikasikan dirinya untuk mengakhiri pelecehan seksual terhadap anak, lewat "Grooming and Red Flag Behaviors" menyebut soal pelecehan ini. Child grooming merupakan proses sistematis dengan pelaku nan memulai dan mempertahankan hubungan bertahapnya dengan korbannya secara rahasia. Kebertahapan ini memungkinkan korban lenyap rasa khawatirnya hingga pelecehan seksual terjadi.
Child grooming tampak seperti hubungan dekat antara orang dewasa dengan anak, apalagi melibatkan pengasuhnya. Prosesnya nan sering samar, lantaran pelakunya orang terkenal namalain sangat dihormati di masyarakat sehingga mudah dipercaya. Karenanya, child grooming merupakan manipulasi relasi oleh orang dewasa dengan memanfaatkan kerentanan anak, untuk tujuan seksual terutama diperantarai perangkat digital.
Darknes to light menguraikan tahapan-tahapan prosesnya: Diawali mencari anak sebagai calon korban. Ketika sasaran telah ditemukan, pelaku berupaya mendapatkan kepercayaan anak maupun pengasuhnya. Ini dilakukan dengan menyediakan kebutuhan calon korban oleh pelaku. Di media sosial, kebutuhan bisa dipenuhi sebagai obrolan, pemberian pujian, perhatian, hingga jawaban atas keresahan anak. Saat relasi semakin intim, pelaku melakukan isolasi. Ia menjelmakan dirinya sebagai pihak nan paling tahu kebutuhan anak, sehingga anak tak perlu orang lain, apalagi sekali pun itu orang tuanya. Selain pelaku, korban dibatasi relasinya dengan orang lain.
Akibat isolasi relasi, kepercayaan dan pemenuhan kebutuhan korban makin berpusat pada pelaku. Di tahap inilah pelecahan terjadi. Ketergantungan anak dieksplotiasi, diarahkan pada pemenuhan kebutuhan seksual pelaku. Dilakukan lewat eksposur gambar-gambar maupun tampilan bertema seksualitas.
Untuk mempertahankan kendali, pelaku memanipulasi emosi korban. Ini dapat berupa bujukan: jika relasi berakhir, berhujung pula kenyamanan nan telah dirasakan. nan jika tak berhasil, meningkat sebagai ancaman. Pelaku menakut-nakuti membongkar relasi rahasianya, nan tak jarang mengandung perihal memalukan untuk diketahui orang lain dan orang tuanya.
Hari ini saat relasi juga dapat dijalankan dengan memanfaatkan AI, lebih banyak info maupun perangkat terlibat, child grooming juga meningkat ancamannya. Josh Butler, 2023, dalam AI Tools could be Used by Predators to 'Automate Child Grooming', eSafety Commissioner Warns, mengungkapkan ancaman itu.
Disebutkannya, Komisi eSafety di Australia telah menyampaikan kemungkinan penggunaan Gen AI, untuk melakukan otomatisasi child grooming oleh predator. Karenanya, Julian Hill personil parlemen Partai Buruh, memperingatkan pemerintah: Produk-produk berbasis AI seperti ChatGPT dan Bard kudu diwaspadai. Perlu badan federal di bawah perdana menteri untuk mengawasi bagian baru itu.
Media sosial dengan support AI makin jadi arena child grooming, lantaran kemudahannya diakses anak-anak, juga oleh pengolah algoritmanya. Karakteristik anak-anak, terutama nan media sosialnya dilepaskan dari pengaturan privasi, memudahkan predator mengenali identitasnya. Algoritma memandunya.
Anak nan rentan kurang perhatian bakal berelasi dengan anak berkeadaan serupa. Lewat unggahan, komentar, maupun pernyataan suka, algoritma memberi petunjuk karakter anak. Ini akomodasi bagi predator, memudahkan kejahatannya.
AI-Generated Child Sexual Abuse Material (CSAM)
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/ThitareeSarmkasat
Fungsi algoritma nan lebih nyata, menjadikan child grooming bukan satu-satunya ancaman di media sosial maupun AI. Ini dikemukakan childrescuecoalition.org, 2025, dalam The Dark Side of AI: Risks to Children. Lembaga ini memperingatkan untuk mewaspadai tiga ancamannya bagi anak-anak. Selanjutnya, adalah AI-Generated Child Sexual Abuse Material (CSAM).
Ini adalah material nan dihasilkan dengan mengandalkan kerja algoritma AI. Wujudnya bisa gambar namalain video, nan dapat dijadikan jadi sarana pemerasan pada anak-anak. AI tanpa info visual maupun audio nan diperoleh dari anak, dapat memproduksi material pelecehan seksual dari info nan terserak di media sosial anak tanpa pengaturan privasi.
AI-Driven Online Grooming
Sesuai sebutannya, ancaman ini adalah child grooming nan mengandalkan algoritma AI untuk mengenali korbannya. Lewat analisa aktivitas online anak, diperoleh jenis info pribadinya.
Saat info dirangkai, tersedia pengetahuan nan dapat disesuaikan dengan tujuan manipulasi. Pelaku membujuk korban berdasar kebutuhan maupun kerentanannya. Relasi dilakukan menggunakan chatbot, menggiring anak mengikuti kemauan pelaku.
Deepfakes and Impersonation
Ancaman ini dilakukan dengan menggunakan deepfake, untuk menghasilkan audio maupun visual nan meyakinkan, tetapi palsu. Deepfake dengan identitas palsu, meniru anak lain nan telah dikenal korban menyusup ke media sosial. Saat korban tak berprasangka dan terlibat dalam relasi, manipulasi terjadi. Kejahatan dengan langkah ini, menurunkan tingkat kewaspadaan korban seraya meningkatkan kepercayaan pada pelaku, demi dilancarkannya manipulasi.
Tampak jelas, teknologi info hari ini kudu disikapi dengan kritis. Pada sebagian perannya, terbukti membawa kegunaan bagi perkembangan mental dan logika budi anak-anak. Anak-anak dapat berkarya tanpa batas, memperoleh penjelasan atas material nan kompleks secara nan mengasyikkan. Melalui beragam perangkat digital ini, potensi anak juga dapat dikenali dengan tepat, apalagi minim biaya.
Namun di sisi sebaliknya, ada ancaman nan serius, beserta langkah mengatasinya nan sulit. Tak mudah menentukan sikap nan tepat. Terlebih dalam minat dan skill kaum dewasa nan beragam. Namun, kesediaan untuk terus belajar dan mengasuh dengan berkualitas, jadi kunci mengantarkan anak-anak bisa memanfaatkan teknologi dengan berguna. Bukan justru jadi korbannya. Akhirnya, selamat mengasuh dengan bahagia, Bunda dan Ayah.
Penulis:
Firman Kurniawan S.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.
(fir/fir)